Di zaman Nabi saw, di luar madinah ada dua adik kakak yatim,
sang kakak bernama Ubaid,
sang adik bernama Zaid.Ubaid dan Zaid bekerja kepada seorang
yahudi, namanya Raban
Zaid ini orangnya sakit-sakitan, sang kakak ketika melihat
zaid bekerja mulai kelelahan, maka merasa kasihan "biarlah aku yg
mengerjakannya, kau istirahat saja," ucap Ubaid
"ngga, nanti tuan kita marah2 lg ky kemaren,"demikian
jawab Zaid
Ubaid terus membujuk zaid agar beristirahat. akhirnya Zaid
pun mau beristirahat. ia pun berteduh dibawah pohon
karena kelelahan, maka ia pun tertidur.
ketika itu datanglah tuannya si yahudi tersebut dan mendapati
Zaid sedang tidur.
marahlah yahudi tersebut, di jewernya si Zaid yg sedang
tersebut hingga kesakitan.
maka Ubaid pun mendekat, "jangan sakiti adikku tuan
rabban yg baik".
"dia pemalas, dan pantas aku hukum, bisa rugi aku klo
begini," jawab yahudi tersebut.
"kalau tuan mau pukul, pukullah saya sebagai gantinya,"
jawab Ubaid,
maka tamparan keras mendarat di pipi ubaid...
lalu yahudi tersebut melemparkan sejumlah uang ke tanah
sebagai upah mereka..
maka mereka pun
memungut uang tersebut dan pulang.
Zaid masih menangis, ia menyesal karena sampai tertidur...
dan makin menyesal lg karena uang yg dibawa pulang untuk
ibunya sangat sedikit.
namun sang ibu terus menenangkan mereka, bahwa Allah bersama
orang yg sabar.
demikian malam2 mereka seperti itu ...
hingga datang lah paman mereka, paman Atib.
kedatangan sang paman membawa kebahagiaan tersendiri bagi
merek.
selain ikut membantu pkerjan dan memenuhi k ebutuhan hidup,
yg paling membahagiakan adalah ketika setiap usai shalat isya, sang paman
selaluu bercerita tentang Rasul saw...
karena sang paman pernah mengunjungi madinah dan sempat
beberapa kali menjumpai Rasul saw...
suatu hari,
ketika larut malam, terbangunlah si kecil yg sakit2n ini,
ia mendengar suara paman Atib sedang melaksanakan shalat
tahajud..
lalu bangkitlah Zaid ke sumur untuk berwudhu..
maka ia menatap langit,
"subhanallah"
lalu ia teringat syair salah seorang musafir yg hendak
menuju ke madinah...
Yaa,, Muhammad,
Aku musafir yg terlunta2...
Berjalan jauh mengarungi batu tandus.
Tertatih2 menuju tempatmu berdoa...
Lihatlah kakiku melepuh.
Rasanya sakit Yaa Muhammad
Kau lihat bajuku terkoyak dan keringatku mengering
Aku menderita Ya Muhammad....
perlahan Zaid berdiri disamping paman Atib dan kemudian
melakukan shalat tahajud..
usai sholat, mereka berdua duduk menghadap jendela menatap
bulan..
"Benarkah paman besok akan pergi?" tanya Zaid
"Paman harus pergi wahai zaid," jawab paman atib.
"Pergi kemana?" tanya Zaid.
"Ke Madinah," jawab paman Atib.
Zaid pun menoleh dan menatap wajah paman Atib dalam2...
"Apakah paman akan berjumpa dengan Rasulullah? “tanya Zaid
paman Atib pun tersenyum dan mengaguk, "Insya
Allah"
"Wahai paman, apakah Rasul itu orang yg kaya
raya?" tanya Zaid
"Rasulullah adalah seorang Nabi, bukan seorang raja
wahai Zaid," jawab paman Atib.
"Beliau tidur diatas tikar, sama seperti kita. Beliau
memakai pakaian sama seperti yg kita pakai. Beliau jg makan makanan sama
seperti yg kita makan. Hanya beberapa butir kurma dan air, sesekali beliau
minum susu itupun hadiah dari tetangganya." tambah paman Atib..
Zaid pun termenung,,
Tadinya ia mengira bahwa Nabi itu lebih kaya dari tuan Raban,
tp kini ia termenung, karena kekayaan sang Nabi tak lebih dari keluarganya
sendiri. Bagaimana mungkin seorang miskin bisa ditaati semua orang? jika
seperti Raban maka semua pun bisa terjadi.
"Kalau Nabi bukan orang kaya, bagaimana beliau bisa
membantu kita yg miskin ini?" tanya Zaid.
Paman Atib tersenyum. "Nabi kita punya kasih sayang,
wahai Zaid. Dengan kasih sayang itulah Nabi menolong semua umatnya,” kata Paman
Atib dengan lembut. ” Bila beliau punya sedikit kelebihan uang, akan
dibagikannya kepada para fakir miskin. Beliau juga mengajarkan pada orang kaya,
agar senantiasa membantu saudara-saudara mereka yang kesusahan. Kasih sayang
Nabi tidak terbatas, wahai Zaid. Kasih sayang Nabi meliputi seluruh alam.”
Zaid tercenung. ”Subhanallah...” ucapnya lirih.
”Bila seseorang memberi kasih sayang, ia akan di beri kasih
sayang pula oleh Allah dan orang lain,” kata paman Atib.
Zaid termenung lagi. Walaupun Raban kaya, tetapi ia tidak
disayangi orang karena sifatnya yang kejam. Kekayaan Raban tidak ada artinya
dibandingkan kekayaan kasih sayang Nabi.
”Paman. kalau kasih sayang Nabi seluas alam ini, berarti
Nabi juga menyayangi anak2?” tanya Zaid penuh harap.
Paman Atib meraih Zaid dan mendudukkannya di pangkuan. ”
Bila Rasulullah bertemu anak-anak, Beliau selalu menyapa mereka dan mengajaknya
tertawa,” kata Paman Atib.
Tanpa terasa air mata Zaid menggenang. ”Benarkah didunia ini
ada orang sebaik itu ?” pikirnya dalam hati.
Perlahan timbul rasa rindu di hati Zaid.
Lalu Paman Atib berkata lagi,
”Tetapi yang lebih besar dari semua itu adalah pengorbanan
Beliau di jalan Allah. Tahukah engkau Zaid, ketika Rasulullah berdakwah seorang
diri ke kota Thaif, Beliau malah dilempari batu oleh orang2 bodoh itu sambil
disoraki ?”
Zaid bangun dari pangkuan Atib dan bertanya dengan wajah
tegang. ”Dilempari batu ? lalu apa yang terjadi wahai Paman ? Apa yang terjadi
?”
Tubuh dan kaki beliau terluka, sehingga sepanjang jalan kota
Thaif berceceran bercak-bercak darah suci yang mengalir dari luka itu,” jawab
Paman Atib dengan murung
Tubuh Zaid terasa lemas, kepalanya tertunduk seraya jatuh
berlutut. ”Subhanallah...Subhanallah....” bisiknya tersendat.
Mendadak ia mengenggam tangan Paman Atib erat2. Kemudian dia
mendongakkan kepala dan memandang wajah Paman Atib lekat2. Matanya berkaca2,
namun sorot matanya penuh dengan kemarahan.
” Paman...” ujarnya tersendat-sendat. ”Bersumpahlah dengan
nama Allah, bahwa Paman akan menghunus pedang dan saya akan menyiapkan ketapel.
Lalu kita hancurkan kota orang2 kafir itu sampai Allah memberi kemenangan, atau
kita mati syahid.”
Paman Atib membalas tatapan Zaid, sementara kedua tangannya
memegang bahu Zaid . Paman Atib menggeleng2kan kepalanya perlahan. ”Zaidku...”
katanya dengan penuh rasa kasih sayang. ”Rasulullah adalah Suri Tauladan dan
panutan setiap Muslim, bukankah begitu ?” Zaid mengangguk perlahan, sementara
air matanya makin menggenang
Tahukah engkau wahai Zaidku, apa yang dilakukan Rasulullah
setelah menerima perlakuan demikian kejam ? tahukah engkau ?” tanya Paman Atib
lagi. Zaid menggeleng disertai air matanya yang mulai mencair dan meleleh
dipipinya
Apakah Rasulullah akan memohon agar Allah menghukum orang2
itu ? Padahal setiap doa Beliau akan dikabulkan Allah. Apakah Rasulullah akan
memohon agar kota Thaif dihancurkan ?” tanya Paman Atib
”Ternyata tidak wahai Zaid, tidak. Rasulullah malah memohon
agar Allah memaafkan mereka semua...” Zaid semakin tersedu2 karena terharu. Tak
pernah didengarnya ada manusia sebaik dan seagung itu.
Paman Atib memeluk Zaid kecil didekapnya ke dadanya. Ia
mengelus punggung Zaid sambil berbisik,
Dan setelah bertahun2 berlalu, akhirnya orang-orang Thaif
memeluk Islam. Orang yang dulu melempari Nabi dengan batu, kini telah menjadi
saudara kita. Saudara dalam Iman dan cinta. Semua itu berkat cinta dan kesabaran
Nabi terhadap sesamanya. Dan kita harus meneladani Beliau. Kamu paham kan
Zaidku ?”
Zaid mengangguk dalam tangisnya. Hatinya semakin terjerat
rindu dengan manusia seagung itu.
Paman...” katanya dengan suara serak. ”Ajaklah aku
bersamamu. Aku ingin menjaga Rasulullah agar tak ada orang yang dapat
mencelakainya lagi.”
”Zaid,” kata Paman Atib lagi. ”Kamu masih kecil dan
perjalanan ke Madinah sangat jauh. Lagipula yang harus kau jaga disini adalah
ibumu, ingatlah itu.”
Zaid menggeleng2kan kepala. ”Kak Ubaid dapat menjaga ibu
disini. Lagipula aku tidak takut perjalanan jauh, wahai Paman. Biar kecil
begini tubuhku kuat lho...”
Tak ada yang bisa membujuk Zaid untuk tetap tinggal.
Kerinduannya untuk bertemu Rasulullah sudah sedemikian besarnya sehingga
menyesakkan dada. Ibu Zaid yang bijaksana itupun rela melepaskan kepergian
Zaid. Ia melihat sorot mata Zaid begitu kuat untuk bertemu dan menjaga
Rasulullah. Karena sang Ibu sadar, meskipun Zaid masih kecil, gunung sekalipun
tak akan mampu menghalangi semangatnya.
Akhirnya berangkatlah Zaid bersama Paman Atib ke Madinah.
Selama perjalanan Zaid tidak pernah bermalas2an. Ia membantu mencari kayu bakar
dan membuat makanan. Ia juga membantu memasang tali kekang onta dan menurunkan
barang bawaan.
Tak terasa setelah berhari2 mereka melakukan perjalan berat,
sampailah mereka dipinggir kota Madinah
Hati Zaid begitu berbunga2. ”Besok aku akan bertemu
Rasulullah,” pikirnya dengan hati berdebar2 karena senang. Malam itu Zaid tidak
bisa tidur. Ia ingin matahari segera terbit. Tetapi semua ia rasakan berputar
terlalu lama.
Keesokan harinya mereka memasuki Madinah. Namun suasana
Madinah diliputi awan mendung. Dimana-mana terlihat kesedihan. Kaum wanita
maupun laki2 terlihat terisak2, dan wajah mereka menampakkan ketermanguan yang
menggambarkan seakan2 ada sesuatu kejadian yang sulit dipercaya.
Bertanyalah Paman Atib kepada mereka ”Wahai saudaraku ada
apa gerangan , kenapa seisi Madinah terlihat berduka ?”
"Nabi telah wafat ...”
Dada Zaid tiba2 terasa sesak. Seorang Nabi sekaligus ayah
mereka, seorang pemimpin sekaligus sahabat mereka telah tiada. Siapa tak kan
sedih. Bahkan pelepah kurmapun merunduk sementara angin pun tidak bertiup.
Seluruh alam benar2 berduka.
Zaid tak dapat menahan rindu, berita tersebut seakan
langsung membuatnya lemas. Tiba2 semua perjalanan jauh yang tak terasa itu
datang kembali. Tiba2 semua penyakit yang diderita dulu kini mencengkeram
kembali.
Sore itu Zaid jatuh sakit. Tubuhnya menggigil kedinginan.
Paman Atib berjaga semalaman. Akan tetapi menjelang subuh panas badan Zaid
turun. Zaid meminta Pamannya membawanya keluar tenda
”Aku ingin melihat bintang,” katanya lirih.
Dibopongnya tubuh Zaid yang terbungkus selimut keluar tenda.
Dibawanya Zaid hingga ke sebuah bukit, supaya Zaid dapat memandang bintang
sepuasnya.
” Paman...” ucap Zaid lirih.
Setelah ayah meninggal, seorang Tabib yang baik hati pernah
memeriksa tubuhku yang sakit2an ini. Kata tabib hidupku hanya tinggal beberapa
bulan lagi. Yang tahu hal ini hanya Kak Ubaid. Ibu tidak kami beritahu karena
takut Beliau sedih...” ia menghela nafasnya dalam2.
”Selama perjalanan aku berusaha menahan semua sakit agar bisa
bertemu Rasulullah, tetapi Allah berkehendak agar kami bertemu ditempat yang
lebih indah dari dunia ini. betul kan, Paman ?” Paman Atib mengangguk perlahan
sambil mendekap tubuh Zaid.
Tiada lagi indah bintang-bintang di langit...
Karena bintang yang terindah telah tiada....
Tiada lagi sejuk cahaya bulan...
Karena cahaya tersejuk telah tiada...
Yaa... Muhammad...
Penuh rindu kudatangi kota ini...
Namun Kau biarkan aku sendiri....
Menunggu didunia fana ini...
Yaa... Muhammad...
Kalaupun tak kujumpai Engkau disini
Janganlah Kau palingkan wajah dariku...
Bila kita bertemu suatu saat..
Di akhirat nanti.
Zaid tersenyum. Sorot matanya perlahan-lahan terkatup, dan
tertutup selamnya. Ia telah kembali keharibaan Allah,
"selamat jalan Zaidku. Sampaikan salam Paman buat
Rasulullah...” bisik Paman Atib lirih.